3/21/2009

SEJARAH SINGKAT PERJALANAN TEAM HIJAU PSS MENUJU SEPAKBOLA NASIONAL

SUDAH lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan, dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil, Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.

Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur dimaksud.

Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook, atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator. Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola secara teoritis dan analitis.

Sebab itu, seperti halnya sebuah kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan jujur, bertahap dan hidup.

Untuk membangun kultur sepakbola itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula. Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil, Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri.

Dalam konteks kecil dan lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya.

Namun, meski muda, PSS mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan, kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA.

Maka, tak pelak lagi, PSS kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.

Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar, atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi. Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan pembina #terlihat begitu tinggi.

Meski belum optimal, PSS akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI).

Perjalanan PSS yang membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun 1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di kompetisi-kompetisi sebelumnya.

Dengan kata lain, PSS mengorbit di Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan yang mengandalkan ketebalan duit.

Dan memang benar, setelah bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya. Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan pemain berpengaruh dalam tim.

Pada penampilan perdananya, PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan, PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1.

Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan, "Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita." Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa) kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo.

Saat itu, Ibnu Subianto menjawab, "Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga hitam." Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan. Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu. Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di urutan pertama.

Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang.

Pembinaan sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.

Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi. Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI.

Apa yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau Persebaya. Semoga!

Read more...

'ASTRO BOY', Kembalinya Anak Yang Hilang

Pemain: Freddie Highmore, Nicolas Cage, Donald Sutherland, Nathan Lane

Sejak kehilangan putranya, Tobio, yang meninggal dalam kecelakaan, Dr. Tenma (Nicolas Cage) merasa kesepian. Ia kemudian memanfaatkan keahliannya membuat robot untuk menciptakan pengganti Tobio. Berdasarkan gambaran Tobio inilah Dr. Tenma kemudian membangun robot yang kemudian ia beri nama Astro Boy (Freddie Highmore).

Sayangnya, Astro Boy ini ternyata tak bisa menggantikan Tobio yang sangat ia cintai. Astro Boy tak bisa tumbuh menjadi dewasa dan tak memiliki emosi layaknya manusia. Kecewa dengan hasil ciptaanya, Dr. Tenma kemudian memutuskan untuk 'membuang' Astro Boy yang mulai merasakan bahwa Dr. Tenma adalah ayahnya.

Astro Boy yang merasa kecewa kemudian terlibat serangkaian petualangan yang malah membuatnya semakin 'dewasa'. Namun petualangan Astro Boy harus segera diakhiri karena Metro City, tempat 'ayahnya' tinggal kini berada dalam bahaya. Berbekal rasa 'cinta' pada ayahnya dan kemampuan yang ia dapat selama dalam petualangan, Astro Boy siap kembali untuk melindungi Metro City dari segala ancaman.

Film animasi 3D yang dibuat berdasarkan animasi Jepang dengan judul yang sama ini dipercayakan pengerjaannya pada David Bowers yang sebelumnya memang sudah bergulat di dunia animasi cukup lama. Summit Entertainment berencana mengedarkan film animasi yang juga memasang nama-nama besar seperti Nicolas Cage dan Freddie Highmore ini pada bulan Oktober 2009 nanti.

Read more...

'FRIDAY THE 13TH', Legenda Lama Yang Masih Hidup


Pemain: Derek Mears, Jared Padalecki, Amanda Righetti

Ketika masih kecil, Jason Voorhees (Derek Mears) dipaksa melihat ibunya yang dipenggal kepalanya oleh salah seorang wanita yang berusaha menghindar dari amukan ibu Jason. Kenangan masa kecil yang tragis membuat Jason Voorhees tumbuh menjadi pria yang memiliki kelainan jiwa.

Tiga puluh tahun kemudian, sekelompok anak muda datang ke Crystal Lake untuk berkemah di sana. Jason yang merasa terusik kemudian membantai empat dari kelima anak muda tersebut. Whitney (Amanda Righetti) selamat dari kematian karena Jason melihat kemiripan antara Whitney dan ibunya yang telah lama meninggal.

Beberapa minggu kemudian, sekelompok anak muda kembali datang ke Crystal Lake dengan maksud yang sama. Mereka sama sekali tak menyadari bahaya karena tak seorang pun berhasil lolos dari Jason dan tak ada berita apapun mengenai mereka berlima. Di saat yang sama, Clay (Jared Padalecki), kakak Whitney, datang untuk mencari adiknya yang hilang.

Clay yang kemudian bertemu dengan Jenna (Danielle Panabaker), salah satu dari anak muda yang datang untuk berkemah di Crystal Lake. Jenna kemudian setuju untuk membantu Clay mencari adiknya yang hilang. Namun di luar sepengetahuan mereka berdua, Jason mulai membantai satu per satu teman Jenna dan mulai memburu Clay dan Jenna.

Nama Jason Voorhees memang sudah tak asing lagi buat para penggemar film horor Hollywood. Seperti halnya Freddy Krueger, Jason Voorhees adalah salah satu dari urban legend yang populer di Amerika. Kini film yang berawal dari serial yang berawal di tahun 1980 ini dibuat ulang oleh sutradara Marcus Nispel. (kpl/roc)

Read more...

Sony DSR-PD170 Camcorder Review

The DSR-PD150 has been an excellent performer since it came out years ago but it has matured over time. As other companies such a Panasonic introduced new cameras like the AG-DVX100 with features such as 24p recording, the DSR-PD150 began to loose its luster. Many people expected Sony to do something outrageous and cutting edge to steal the thunder from the AG-DVX100 and XL-1s, but Sony did the opposite. However, inspite of all this the DSR-PD170 (Review, Specs, $2579) proves that solid video performance is still the ticket to a great camera, even without many of the new features hyped by other camera makers.

When the DSR-PD170 was released many thought of it as an insignificant update as if Sony was simply going through the motions and not delivering a top notch product. Where was the 24p? Where was the true 16:9? Sony's future plans became clearer when they announced that a prototype of an HDV camcorder would be shown at Cebit in Germany. It seems that Sony's advanced technology will be going into the HDV camera, but their Don't fix it, make it better campaign holds some serious merit. 24p, 16:9, and interchangeable lenses are hot features, but they aren't for everyone. When the AG-DVX100 came out it was targeted squarely at indie filmmakers. 24p is a frame rate that is used to mimic the motion characteristics of film, but more importantly for film transfer so that a 1 to 1 match can be made. This feature was revolutionary at the time and has not yet been duplicated by a camera in this range. That having been said, the DSR-PD150 has always been used by independent filmmakers along with the XL-1. The DSR-PD170 is a well balanced camera that can be used for a variety of professional video applications from corporate video to news gathering. This model can also be used for filmmaking, but it doesn't emphasize this as much as the AG-DVX100 which is designed almost exclusively for digital cinema.

Video Performance (9.5)
The DSR-PD170 ($3,940 MSRP ) produces excellent video. Lately this camera has gotten a lot of acclaim for its improved low light performance but this should not over shadow its excellent performance under ideal lighting conditions. At 3000 lux the DSR-PD170 is phenomenal. Colors are vibrant and really bring a nice feel to the image. The three 1/3 inch CCDs all have 380,000 total pixels and 340,000 effective for video acquisition in the 4:3 aspect ratio.

The DSR-PD170 runs in a highly competitive crowd that includes the likes of the AG-DVX100 and the XL-1S. Both of these cameras have been praised for their excellent image quality and in particular the Canon is often considered to rule the throne when it comes to color reproduction.

At this light level color reproduction on the DSR-PD170 was more vivid than on the AG-DVC30 (Review, Specs, $1700.89) and is on par with the GL-2 and XL-1s. The XL-1S always seemed to the best camera when it comes to color reproduction, but the DSR-PD170 is better. Sony has not claimed that they improved anything from the previous model other than upping the minimum illumination rating from 2 lux to 1 lux. Whatever they did to improve the low light performance has also improved the overall image quality even at 3000 lux.

sumber : http://www.camcorderinfo.com/content/sony-dsr-pd170-camcorder-review.htm

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP